BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian
Tanah merupakan salah satu sumber
daya alam yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan
bagian dari bumi, air dan ruang angkasa yang merupakan bagian dari kekayaan
alam yang berlimpah sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu
sudah seharusnya kita melestarikan, menjaga dan mengelola secara baik tanah
tersebut baik untuk generasi sekarang maupun untuk yang akan datang. Sebagai
sumber daya yang sangat menunjang kehidupan umat manusia, maka setiap
masyarakat memiliki aturan atau norma tertentu dalam penggunaan, penguasaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah untuk kehidupannya. Dengan semakin
berkembangnya penduduk dan cara pemikiran manusia maka mendorong terbentuknya
suatu aturan di bidang pertanahan yang dapat diterima bersama sebagai landasan
hukum terutama dalam kepemilikan tanah.
Dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004 yang dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004
tentang program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 ditetapkan arah kebijakan
yang berkaitan langsung dengan bidang pertanahan termasuk pada kebijaksanaan
pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana tercantum dalam butir 16 yang
berbunyi:
“Mengembangkan
kebijaksanaan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah
secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat
setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang
wilayah yang serasi dan seimbang”
Menurut Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan bahwa :
“Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”
Sebagai landasan
kebijakan di bidang pertanahan, pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
ditunjukkan bahwa untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan kekayaan alam
Indonesia, termasuk tanah. Adapun perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 tersebut adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Pokok
Agraria merupakan perangkat hukum pertanahan sebagai sendi dan landasan baik
hukum nasional maupun kepastian hukum pada politik dan system pertanahan
nasional. Secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria
bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku badan
penguasa sehingga tepatlah jika bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara.
Dengan demikian
Negara sebagai organisasi kekuasaan, mengatur sampai dengan membuat peraturan
yang kemudian menyelenggarakan penggunaan, peruntukan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, agar kepastian hukum di bidang pertanahan dapat terwujud. Menurut
Parlindungan bahwa pembatasan terhadap pengertian Hak Menguasai Negara
mengandung makna bahwa perkataan “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki”, tetapi
pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan
dari bangsa Indonesia untuk pada tingkat yang tertinggi bertindak selaku Badan
Penguasa, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria
angka II ayat (2) bahwa Hak Menguasai Negara memberi wewenang untuk : [1]
1. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
2. menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
3. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dikemukakan juga
bahwa dari pengertian Hak Menguasai Negara tersebut diantaranya dimungkinkan
organisasi kekuasaan itu untuk :[2]
1. memberikan
hak-hak keperdataan baik kepada perorangan ataupun badan-badan hukum privat
seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
2. mengakui
suatu badan hukum publik yang sudah ada sebelumnya seperti hak ulayat
masyarakat-masyarakat hukum adat;
3. memberikan
hukum publik yang baru yaitu Hak Pengelolaan yang diberikan kepada
lembaga-lembaga pemerintah ataupun perusahaan- perusahaan Negara dan Daerah.
Dari Hak Pengelolaan ini dapat diberikan oleh pemegangnya Hak Milik, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai;
4. Dapat
diberikan Hak Pakai Khusus yaitu Hak Pakai yang tidak terbatas waktunya dan
diberikan untuk pelaksanaan tugasnya seperti hak pakai untuk perwakilan
Negara-Negara asing, lembaga-lembaga pemerintah, untuk kepentingan sosial dan
keagamaan.
Dengan diberikannya
beberapa macam hak atas tanah baik kepada perorangan atau badan hukum, juga ada
kewajiban untuk mengelola tanah sesuai dengan yang dimilikinya dan kepada
pemegang hak-hak tersebut dibebankan kewajiban untuk mendaftarkan hak atas
tanahnya dalam rangka tercapainya kepastian hukum. Undang-undang Pokok Agraria
dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan
kepastian hukum terhadap pemilik hak-hak atas tanah di seluruh wilayah
Indonesia. Jika dikaitkan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam rangka penataan
kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Maka pendaftaran hak atas
tanah merupakan suatu sarana penting untuk terwujudnya kepastian hukum dan
sekaligus turut serta dalam penataan kembali penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah.
Ketentuan mengenai
pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria
yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah”
Berdasarkan
ketentuan ini, maka pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pemerintah mengadakan pendaftaran
tanah di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian
hukum hak atas tanah dan sebagai tanda jaminan kepastian hukum tersebut oleh
Pemerintah diberikan surat tanda bukti hak yang dinamakan “Sertifikat”. Menurut
pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
tanah :
“Sertifikat adalah
surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf (c)
Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,
hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan
dalam buku tanah yang bersangkutan”
Dalam pasal 32 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 dinyatakan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Untuk
itu dinyatakan bahwa sebelum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang
benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di
pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam
surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Oleh karena itu berdasarkan hal-hal
di atas, maka kelompok kami mencoba membahas mengenai “Sertifikat Hak Atas
Tanah Sebagai Tanda Bukti Kepemilikan Tanah”.
B. Identifikasi
Masalah
Adapun permasalahan yang akan
dikaji dalam makalah ini ialah berkaitan dengan :
1. Apa
yang dimaksud dengan sertifikat serta sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai
tanda bukti kepemilikan hak atas tanah ?
2. Upaya-upaya
apa saja yang bisa dilakukan guna menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan
?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pasal 1 angka 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 memberikan pengertian sertifikat adalah surat
tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c
Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,
hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah
dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan pengertian sertifikat
menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 :
“Sertifikat
merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah”
Adapun yang dimaksud dengan buku
tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1 angka 19 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 adalah Dokumen dalam bentuk
daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah
yang sudah ada haknya. Sertifikat merupakan hasil akhir dari kegiatan
pendaftaran tanah.
Sertifikat hak atas tanah sebagai
hasil akhir proses pendaftaran tanah yang berisi data fisik (keterangan tentang
letak, batas, bidang tanah, serta bangunan yang ada di atasnya) dan data
yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang
hak atas tanah dan hak-hak pihak lain serta beban-beban lain yang berada di
atasnya) merupakan tanda bukti yang kuat.
Dengan memiliki sertifikat, maka
kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subjek hak dan objek
haknya menjadi nyata selain hal tersebut sertifikat memberikan berbagai
manfaat, misalnya mengurangi kemungkinan sengketa dengan pihak lain, serta
memperkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah yang telah bersertifikat
diperlukan pihak lain untuk kepentingan
pembangunan apabila dibandingkan dengan tanah yang belum bersertifikat serta
mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak atas tanah.
Bagi pemegang hak atas tanah,
memiliki sertifikat mempunyai nilai lebih yaitu akan memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya,
sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya pemegang hak atas tanah
yang namanya tercantum dalam sertifikat harus dianggap sebagai benar sampai
dibuktikan sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti lain.
Selain hal tersebut di atas, maka
sehubungan dengan Fungsi Sosial hak atas tanah sebagaimana diatur di dalam
pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria, maka pemegang sertifikat akan melepaskan
haknya apabila tanahnya akan digunakan untuk kepentingan umum dengan pembayaran
ganti rugi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukan
bahwa pemegang sertifikat diberikan perlindungan dan juga dihargai sebagai
pihak yang mempunyai hak atas tanah.
Sertifikat merupakan surat tanda
bukti hak yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul,
dijilid menjadi satu yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ada dua jenis sertifikat.
Pertama, sertifikat yaitu tanda bukti hak yang diberikan bagi tanah-tanah yang
sudah ada surat ukurnya ataupun tanah- tanah yang sudah diselenggarakan
pengukuran desa demi desa, dan yang kedua, sertifikat sementara, yaitu tanda
bukti hak yang diberikan bagi tanah- tanah yang belum ada surat ukurnya,
artinya tanah-tanah di desa-desa yang belum dihitung berdasarkan pengukuran
desa demi desa. Sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, baik subyek
maupun obyek hak atas tanahnya dan sertifikat sementara merupakan alat
pembuktian sementara mengenai macam-macam hak dan siapa pemiliknya, tidak
membuktikan mengenai luas dan batas-batas tanahnya.
Pemberian tanda bukti hak diatur
dalam suatu ketentuan tentang pendaftaran tanah yang dilaksanakan diseluruh
Wilayah Republik Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan
perlindungan hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah sebagaimana
diperintahkan oleh Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pokok Agraria, yaitu
:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tanah, meliputi kegiatan :
a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan
tanah;
b. Pendaftaran hak atas tanah dan
peralihan-peralihan hak tersebut;
c. Pemberian surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dengan demikian,
akibat hukum dari pendaftaran tanah adalah diberikannya surat tanda bukti hak,
yaitu sertifikat tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap
pemegang hak atas tanah, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya
data fisik dan data yurudis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai
data yang benar, sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat
ukur yang bersangkutan.
Kepastian hukum hak
atas tanah tersebut selaras dengan tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak- hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2. Untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar mudah memperoleh data
yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang tanah dan
bantuan- bantuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk terselenggaranya tertib
administrasi pertanahan.
Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu bahwa
dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya
diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, sedangkan pasal 19 UUPA hanya
untuk kepastian hukum.
Berdasarkan pasal 19 UUPA dan
peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa diadakannya pendaftaran tanah
adalah untuk memberikan kepastian hukum dan sertifikat berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas negative. Ini
tercermin dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah sebagai alat
pembuktian yang kuat. Berbeda dengan system positif, yang menghasilkan
sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak sebagai satu-satunya alat
pembuktian. Dengan demikian sertifikat tersebut hanya dipandang sebagai suatu
bukti permulaan saja, belum menjadi sertifikat sebagai suatu yang final sebagai
bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, sertifikat merupakan satu- satunya
alat pembuktian.
Parlindungan mengemukakan bahwa
pasal 19 UUPA menyatakan bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang
kuat, sehingga setiap orang dapat mempermasalahkan tentang kebenaran sertifikat
tanahnya, dan jika dapat dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah
tersebut, maka sertifikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat
memerintahkan hal tersebut.[3]
Pasal 23, 32 dan 38 UUPA menyatakan
bahwa pendaftaran tanah untuk hak-hak tersebut ditujukan kepada para pemegang
hak agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka, dalam arti demi kepentingan
hukum bagi mereka sendiri. Begitu pula pendaftaran atas setiap peralihan,
penghapusan dan pembebanannya, serta pendaftaran yang pertama kali, pendaftaran
karena konversi ataupun pembebasannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum
jika tidak didaftarkan. Padahal pendaftaran tersebut merupakan bukti yang kuat
bagi pemegang haknya.
Dalam penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa dalam
Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan system yang digunakan, yang pada
hakikatnya sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa
system publikasinya adalah system negative yang mengandung unsur positif,
karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf
(c), pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA.
Di dalam pelaksanaan
administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor
Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai
bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang
tanah tersebut ataupun data yuridisnya. Penerbitan sertifikat hak atas tanah
digunakan untuk pegangan kepada pemiliknya akan bukti-bukti haknya yang
tertulis, kecuali masih ada catatan pada buku tanah maka sertifikat tidak dapat
diterbitkan.[4]
Sertifikat tanah yang diberikan
akan memberikan peran dan arti penting bagi pemegang hak yang bersangkutan,
yang dapat berfungsi sebagai alat bukti
hak atas tanah apabila ada persengketaan terhadap tanah tersebut ataupun dapat
pula berfungsi sebagai jaminan pelunasan suatu hutang kepada bank.
BAB III
POKOK PEMBAHASAN
Sehubungan dengan apa yang
dikemukakan dalam uraian diatas dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
para pemegang hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, pasal 3
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan mengenai arti dan
persyaratan mengenai “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Dijelaskan
bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan
selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di Pengadilan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian
perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan
dalam pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa :
“Dalam hal suatu
bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertifikat tersebut”
Dengan pernyataan tersebut makna
dari sertifikat yang merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan
pendaftaran tanah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum
dibidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun
sistem publikasinya bersifat negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas
pemberian perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang memperoleh tanah
dengan itikad baik yang dilanjutkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan
maupun pihak yang mempunyai dan menguasai serta menggunakannya sebagaimana
mestinya.
Dalam penjelasan pasal 32 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
“Pendaftaran tanah
yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem
publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara,
melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Didalam sistem publikasi
negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun
demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif yang
murni”
Sertifikat sebagai alat pembuktian
yang kuat maksudnya bahwa sertifikat tersebut akan memberikan jaminan kepastian
hukum apabila tidak ada pihak lain yang merasa memiliki atas sertifikat
tersebut. Menurut Soeprapto bahwa kepastian hukum tersebut harus meliputi :[5]
a. Kepastian hukum mengenai subjek hukum
yang menjadi pemegang hak-hak atas tanah;
b. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas
serta luas bidang tanah hak (objek hak);
c. Kepastian hukum mengenai hak yang
melekat atas tanah tersebut.
Memperhatikan
pendapat tersebut bahwa ketersediaan peta merupakan salah satu alat penunjang
untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah, disamping
data yuridis lainnya sebagai penunjang yang sangat penting.
Dalam pendaftaran tanah, sebagai
upaya untuk mewujudkan kepastian hak dibidang pertanahan, Pemerintah
berdasarkan UUPA pasal 19 diwajibkan untuk mengadakan pendaftaran tanah
diseluruh Indonesia dalam pasal 23, 24 dan 48 UUPA selain pemerintah juga
pemegang hak atas tanah tersebut, dimana kepastian hukum tersebut meliputi tiga
hal yaitu :
1. Kepastian mengenai subjek hak yaitu
kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas
tanah, jika pendaftaran tanah sudah dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib,
maka melalui daftar tanah/buku tanah dapat dengan mudah diketahui siapa
pemegang hak atas suatu bidang tanah tertentu. Hal ini akan memberikan
kepastian hukum, pertama-tama bagi pemegang hak itu sendiri, bagi pihak lain
yang mempunyai kepentingan atas tanah tersebut misalnya pihak yang akan membeli
tanah yang bersangkutan atau pihak yang
akan meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan, pihak tersebut
memperoleh jaminan kepastian hukum bahwa dia akan membeli tanah atau akan
memperoleh hak atas tanah sebagai jaminan pinjaman yang akan diberikan, dari
orang yang betul-betul mempunyai hak dan mempunyai kewenangan untuk menjual
atau menjaminkan tanah yang bersangkutan;
2. Kepastian hukum mengenai objek hak
yaitu kepastian mengenai tanahnya itu sendiri yang meliputi letak tanah secara
pasti, batas-batasnya yang jelas, dan luas bidang tanah, jaminan kepastian
hukum mengenai objek ini sama pentingnya dengan jaminan kepastian hukum
mengenai subjek;
3. Kepastian hukum mengenai hak yang
melekat atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum antara subjek
hukum dengan objek hukum. Jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang
melekat ini penting karena tidak semua hak atas tanah dapat dimiliki oleh
subjek hukum tertentu atau tidak boleh dipindah tangankan atau tidak boleh
dibebani dengan hak tanggungan.
Penyelenggaraan
Pendaftaran Tanah yang baik dan benar serta teliti dapat memberikan jaminan
kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah apabila dipenuhi tiga
syarat yaitu :
a. Peta-peta pemilikan tanahnya/peta
kadaster dapat dipakai untuk rekonstruksi;
b. Daftar umum yaitu; daftar tanah, daftar
nama, daftar surat ukur serta buku tanah dapat membuktikan pemegang hak yang
sah menurut hukum;
c. Setiap hak atas tanah dan perbuatan
hukumnya harus didaftar.
BAB IV
ANALISIS
A. Kekuatan Hukum
Sertifikat Hak atas Tanah
Daftar-daftar umum yang
diselenggarakan dalam rangka pendaftaran tanah dalam suatu Negara menetapkan
apakah penerbitan sertifikat dapat memberikan kekuatan bukti atau tidak. Hal
ini dapat dilihat dari system pendaftaran tanah yang dianutnya. Ada dua system
pendaftaran tanah, yaitu:
1. System
Pendaftaran tanah Positif
System positif jika
daftar-daftar umum mempunyai kekuatan bukti, sehingga terdaftarnya seseorang
dalam daftar umum sebagai pemegang hak membuktikan orang tersebut adalah
pemegang hak yang sah menurut hukum. System positif ini dianut antara lain di
Jerman dan Australia.
2. Sistem
Pendaftaran Tanah Negatif
Sistem Negatif tidak
memberikan kekuatan bukti pada daftar-daftar umum pendaftaran tanah, artinya
terdaftarnya seseorang tidak membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang
sah menurut hukum. System negatif ini antara lain dianut di Indonesia.
Sistem pendaftaran tanah negatif
ini terbentuk karena pengaruh asas hukum yang dianut di dalam peralihan hak
atas tanah yaitu Asas Nemo Plus Juris, artinya orang tidak dapat mengalihkan
hak yang melebihi hak yang ada padanya, yang tujuannya adalah melindungi
pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan orang lain yang mengalihkan hak
tanpa sepengetahuannya. Dengan berlakunya asas peralihan hak ini, maka tidak
memberikan kekuatan hukum pada daftar-daftar umum penyelenggaran pendaftaran
tanah.
Untuk mengetahui sejauh mana
kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah, maka dapat dilihat dari sifat
pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Indonesia yaitu bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum adalah untuk menghindari
terjadinya penerbitan sertifikat tanah bukan kepada orang yang berhak.
Sehubungan dengan sifat pendaftaran tanah tersebut, maka UUPA dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah menganut system negatif, yaitu segala apa yang tercantum
dalam sertifikat tanah adalah benar sampai dapat dibuktikan keadaan sebaliknya
di muka pengadilan.
Undang-undang Pokok Agraria
menegaskan system negatif ini bertendensi positif sebagaimana tercantum dalam
pasal 19 ayat (2) huruf c bahwa surat- surat tanda bukti hak yang diberikan itu
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dalam system negatif adalah berarti
tidak mutlak, sehingga sertifikat tanah masih mungkin dibatalkan sepanjang ada
pembuktian sebaliknya yang menyatakan ketidaksahan sertifikat tanah tersebut.
Dengan demikian sertifikat tanah bukanlah satu-satunya surat bukti pemegang hak
atas tanah, oleh karena masih dimungkinkan ada lagi bukti- bukti lain tentang
pemegang hak atas tanah tersebut.
Pendaftaran tanah yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 sebagaimana yang telah diperintahkan
Undang-undang Pokok Agraria menggunakan system negatif bertendensi positif. Hal
ini merupakan pernyataan pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Pokok Agraria
yang menyatakan bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai
alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23, 32 dan 38 UUPA bahwa pendaftaran tanah
sebagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Walaupun bersifat
negatif akan tetapi penyajian dan pengumpulan data fisik serta data yuridis
serta penerbitan serifikat hak atas tanah tampak jelas usaha untuk memperoleh
dan menyajikan data yang benar karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin
kepastian hukum.
Sehubungan dengan maksud tersebut,
maka diadakanlah ketentuan pasal 32 ayat (2) Peraturan pemerintah nomor 24
tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal suatu
bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.”
Tujuan dari pencantuman pasal ini,
pada satu pihak tetap berpegang pada system pendaftaran tanah negatif dan pada
pihak lain untuk secara seimbang memberikan
kepastian hukum kepada pihak yang beritikad baik menguasai bidang tanah
dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku Tanah dengan sertifikat sebagai
tanda buktinya yang menurut Undang- undang Pokok Agraria berlaku sebagai alat
bukti yang kuat.
Berlakunya system pendaftaran tanah
yang negatif, memiliki kelemahan karena pihak yang namanya tercantum sebagai
pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan
gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut.
B. Upaya - upaya
yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum
Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga
Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab dalam mengelola pertanahan
salah satunya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus benar-benar
menyelenggarakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya sehingga dapat memberikan
kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Untuk mencapai hal tersebut
telah berupaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dengan melakukan
upaya-upaya sebagai berikut :
1. Pengukuran
dan pemetaan seluruh bidang-bidang tanah.
Bahwa dalam rangka
kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah sudah barang tentu dibutuhkan
infrastruktur berupa peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran yang memuat
informasi batas-batas bidang tanah yang merupakan hasil pemetaan dan
pengukuran. Bahwa dalam rangka mempercepat pengukuran dan pemetaan Pemerintah
telah mengambil kebijaksanaan untuk menyerahkan pekerjaan ini kepada pihak
swasta dengan supervisi dari Badan Pertanahan Nasional yaitu dengan adanya
surveyor berlisensi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998, hal ini
dimaksudkan untuk dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di masyarakat dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah khususnya pengukuran dan pemetaan dalam memasuki suatu
revolusi teknologi. Badan Pertanahan Nasional telah memanfaatkan teknologi di
bidang pengukuran dan pemetaan seperti teknologi Citra satelit, Ikonos,
pemotretan udara dan Global Positioning System (GPS). Dengan menggunakan
teknologi GPS ini kinerja pengukuran akan lebih efisien dengan fleksibilitas
tinggi, karena teknologi ini tidak terpengaruh oleh waktu dan cuaca.
Penyelenggaraan
sistem informasi Kantor Pertanahan Nasional dalam rangka Peningkatan Efisiensi
Pelayanan Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998. Data Kantor
Pertanahan yang telah menggunakan program-program komputerisasi sampai dengan
tahun 2001 telah dilaksanakan sistem komputerisasi di 74 Kantor Pertanahan
(termasuk Badan Pertanahan Nasional) di seluruh Indonesia, pengadaan
komputerisasi dilaksanakan secara bertahap hal ini disesuaikan dengan
ketersediaan dana, dengan menggunakan sistem komputerisasi maka pelayanan
pertanahan akan memberikan kemudahan kepada pihak-pihak yang membutuhkan data
pertanahan.
Selain hal tersebut
dalam rangka untuk memberikan jaminan
kepastian hukum Badan Pertanahan Nasional telah mengadakan kerjasama dengan
Direktorat Jenderal Pajak. Perjanjian kerjasama dalam rangka peningkatan
kegiatan administrasi pertanahan dan perpajakan melalui tukar-menukar data dan
pemanfaatan bersama yang meliputi baik data spasial dan data tekstual yang
dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama Kep-126/PJ/2003 dan Nomor
2/SKB/Badan Pertanahan Nasional/2003 tanggal 21 April 2003, adapun data yang
dimaksud adalah berupa :
1) Data Perpajakan berupa :
a. Peta desa/kelurahan;
b. Peta blok;
c. Peta Zona nilai tambah;
d. Daftar hasil rekaman;
e. Data spasial maupun tekstual lainnya
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan administrasi pertanahan.
2) Data Pertanahan yang dimaksud berupa :
a. Peta dasar pertanahan;
b. Peta pendaftaran;
c. Daftar tanah;
d. Daftar mutasi pemilikan dan pembebanan
tanah;
e. Peta tata guna;
f. Titik dasar teknik;
g. Daftar harga ganti rugi tanah dan harga
dasar tanah;
h. Daftar hak;
i. Data lainnya yang diperlukan.
2. Penilaian
alat bukti untuk pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali, baik untuk hak-hak
lama maupun untuk hak-hak baru perlu diadakan penelitian secara cermat dan
teliti karena ketidak cermatan dalam menilai alat bukti sebagai dasar dalam
penerbitan sertifikat akan mengakibatkan sertifikat yang diterbitkan cacat
hukum, adanya pengumuman yang bersifat terbuka sebelum diterbitkan sertifikat
merupakan hal yang sangat penting dan harus benar-benar dilaksanakan. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat mengetahui adanya pensertifikatan sehingga apabila
ada yang merasa keberatan dapat diantisipasi sedini mungkin sebelum terjadi
sengketa.
3. Pemeliharaan
dan pendaftaran tanah harus betul-betul diperhatikan, agar setiap adanya
perubahan dapat dilayani dengan cepat, sehingga pemegang hak yang
berkepentingan yang akan mengadakan perubahan baik itu data fisik maupun data
yuridis akan merasakan arti pentingnya kepastian hukum.
Bahwa pendaftaran
tanah yang diselenggarakan secara baik menjadi dasar dan perwujudan dari tertib
administrasi di bidang pertanahan, administrasi pertanahan yang dikelola secara
tertib adalah merupakan harapan dari diadakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan adanya administrasi pertanahan yang
tertib dan mutahir, maka baik anggota masyarakat maupun Pemerintah dapat dengan
mudah memperoleh data yang diperlukan untuk melakukan perbuatan hukum ataupun
perencanaan atas bidang-bidang tanah secara cepat dan tepat.
Bahwa salah satu
sumber bagi pemutahiran data pendaftaran tanah adalah akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena demi pemutahiran data pendaftaran tanah yang
ada pada Kantor Pertanahan. Dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 mewajibkan setiap pemegang dari hak yang terdaftar untuk mendaftarkan
setiap pengubahan data fisik dari bidang tanahnya (misalnya karena pemecahan,
pemisahan, ataupun penggabungan) maupun pengubahan data yuridis dari hak atas
tanahnya (misalnya karena diadakan pemindahan ataupun pembebanan hak).
Dengan demikian
peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk mempunyai kemampuan teknis
yang tinggi untuk dapat menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya karena
ketetapan, kepastian dan kebenaran informasi yang tertuang dalam akta yang
dibuat sangat menentukan, karena akta PPAT merupakan perantara bagi proses
pendaftaran pemindahan hak dan pemberian kepastian dan perlindungan terhadap
hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat.
BAB V
KESIMPULAN
Dari apa yang telah
dibahas pada Bab-bab tersebut diatas, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan
pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa diadakannya
pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan sertifikat
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas
negative. Ini tercermin dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah
sebagai alat pembuktian yang kuat. Berbeda dengan system positif, yang
menghasilkan sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak sebagai satu-
satunya alat pembuktian. Dengan demikian sertifikat tersebut hanya dipandang
sebagai suatu bukti permulaan saja, belum menjadi sertifikat sebagai suatu yang
final sebagai bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, maka sertifikat
merupakan satu-satunya alat pembuktian;
2. Sertifikat
sebagai tanda bukti hak kepemilikan hak-hak atas tanah dapat memberikan jaminan
kepastian hukum yang kuat apabila tidak ada pihak-pihak yang mengajukan gugatan
terhadap hak-hak tersebut, kecuali bilamana dibuktikan sebaliknya siapa yang
berhak terhadap kepemilikan hak atas tanah tersebut. Apabila hak tersebut oleh
pemilik yang digugat dapat mempertahankan haknya dan setelah diuji didepan
pengadilan baik mengenai prosedur pembuatannya maupun materi kepemilikannya
bahwa benar pemegang hak yang namanya tercantum didalam sertifikat adalah yang
benar-benar pemilik, maka sertifikat tersebut betul-betul mempunyai kepastian
hukum sebagai alat bukti yang kuat;
3. Upaya yang dilakukan agar pendaftaran tanah
mempunyai kepastian hukum agar ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah dengan adanya pembatasan kepada seseorang
untuk mengajukan gugatan terhadap kepemilikan hak atas tanah yang sudah
bersertifikat dapat dilaksanakan secara konsekuen baik oleh BPN ataupun
Pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku :
Boedi Harsono ,
Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pemmbentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi
dan pelaksanaannya, Djembatan, Jakarta, 1977;
_____________, Himpunan Peraturan Perundangan Agraria,
Edisi Revisi, Djembatan, Jakarta, 2002.
Parlindungan
A.P,Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1991.
______________,Komentar
Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998.
_____________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar
Maju, Bandung 1999.
B. Majalah :
Badan Pertanahan
Nasional, Bhumi Bakti, No. 19 Tahun 1999.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Negara
Republik Indonesia tahun 1945;
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
Peraturan
P:emerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;
Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Badan Pertanahan Nasional.
________________________________________
[1] Parlindungan,
Komentar atas Undang- Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993,
Hlm.238.
[2] ibid., Hlm.41.
[3] Parlindungan,
Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, Hlm. 14.
[4] Ibid., Hlm.125
[5] R. Soeprapto,
Undang-undang Pokok Agraria dalam praktek, Jakarta, 1986, hlm 323.
Diposkan oleh WD
Permana, S.H di 11.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar