Kamis, 01 Mei 2014

Sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah


BAB  I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
            Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa yang merupakan bagian dari kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu sudah seharusnya kita melestarikan, menjaga dan mengelola secara baik tanah tersebut baik untuk generasi sekarang maupun untuk yang akan datang. Sebagai sumber daya yang sangat menunjang kehidupan umat manusia, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau norma tertentu dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah untuk kehidupannya. Dengan semakin berkembangnya penduduk dan cara pemikiran manusia maka mendorong terbentuknya suatu aturan di bidang pertanahan yang dapat diterima bersama sebagai landasan hukum terutama dalam kepemilikan tanah.
            Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 yang dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 ditetapkan arah kebijakan yang berkaitan langsung dengan bidang pertanahan termasuk pada kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana tercantum dalam butir 16 yang berbunyi:
“Mengembangkan kebijaksanaan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”

Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”
Sebagai landasan kebijakan di bidang pertanahan, pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 ditunjukkan bahwa untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia, termasuk tanah. Adapun perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tersebut adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Pokok Agraria merupakan perangkat hukum pertanahan sebagai sendi dan landasan baik hukum nasional maupun kepastian hukum pada politik dan system pertanahan nasional. Secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa sehingga tepatlah jika bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara.
Dengan demikian Negara sebagai organisasi kekuasaan, mengatur sampai dengan membuat peraturan yang kemudian menyelenggarakan penggunaan, peruntukan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, agar kepastian hukum di bidang pertanahan dapat terwujud. Menurut Parlindungan bahwa pembatasan terhadap pengertian Hak Menguasai Negara mengandung makna bahwa perkataan “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki”, tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkat yang tertinggi bertindak selaku Badan Penguasa, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria angka II ayat (2) bahwa Hak Menguasai Negara memberi wewenang untuk : [1]
1.       mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
2.       menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
3.       menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dikemukakan juga bahwa dari pengertian Hak Menguasai Negara tersebut diantaranya dimungkinkan organisasi kekuasaan itu untuk :[2]
1.        memberikan hak-hak keperdataan baik kepada perorangan ataupun badan-badan hukum privat seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
2.        mengakui suatu badan hukum publik yang sudah ada sebelumnya seperti hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat;
3.        memberikan hukum publik yang baru yaitu Hak Pengelolaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga pemerintah ataupun perusahaan- perusahaan Negara dan Daerah. Dari Hak Pengelolaan ini dapat diberikan oleh pemegangnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
4.        Dapat diberikan Hak Pakai Khusus yaitu Hak Pakai yang tidak terbatas waktunya dan diberikan untuk pelaksanaan tugasnya seperti hak pakai untuk perwakilan Negara-Negara asing, lembaga-lembaga pemerintah, untuk kepentingan sosial dan keagamaan.

Dengan diberikannya beberapa macam hak atas tanah baik kepada perorangan atau badan hukum, juga ada kewajiban untuk mengelola tanah sesuai dengan yang dimilikinya dan kepada pemegang hak-hak tersebut dibebankan kewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanahnya dalam rangka tercapainya kepastian hukum. Undang-undang Pokok Agraria dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap pemilik hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Jika dikaitkan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Maka pendaftaran hak atas tanah merupakan suatu sarana penting untuk terwujudnya kepastian hukum dan sekaligus turut serta dalam penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.
Ketentuan mengenai pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Berdasarkan ketentuan ini, maka pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
            Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah dan sebagai tanda jaminan kepastian hukum tersebut oleh Pemerintah diberikan surat tanda bukti hak yang dinamakan “Sertifikat”. Menurut pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah :
“Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf (c) Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”

Dalam pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun  1997 dinyatakan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Untuk itu dinyatakan bahwa sebelum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
            Oleh karena itu berdasarkan hal-hal di atas, maka kelompok kami mencoba membahas mengenai “Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Tanda Bukti Kepemilikan Tanah”.

B. Identifikasi Masalah
            Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini ialah berkaitan dengan :
1.        Apa yang dimaksud dengan sertifikat serta sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah ?
2.        Upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan guna menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan ?

BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA
            Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 memberikan pengertian sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan pengertian sertifikat menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 :
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah”

            Adapun yang dimaksud dengan buku tanah sebagaimana disebutkan  dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 adalah Dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. Sertifikat merupakan hasil akhir dari kegiatan pendaftaran tanah.
            Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah yang berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, bidang tanah, serta bangunan yang ada di atasnya) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain serta beban-beban lain yang berada di atasnya) merupakan tanda bukti yang kuat.
            Dengan memiliki sertifikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subjek hak dan objek haknya menjadi nyata selain hal tersebut sertifikat memberikan berbagai manfaat, misalnya mengurangi kemungkinan sengketa dengan pihak lain, serta memperkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah yang telah bersertifikat diperlukan pihak lain  untuk kepentingan pembangunan apabila dibandingkan dengan tanah yang belum bersertifikat serta mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak atas tanah.
            Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertifikat mempunyai nilai lebih yaitu akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya pemegang hak atas tanah yang namanya tercantum dalam sertifikat harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti lain.
            Selain hal tersebut di atas, maka sehubungan dengan Fungsi Sosial hak atas tanah sebagaimana diatur di dalam pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria, maka pemegang sertifikat akan melepaskan haknya apabila tanahnya akan digunakan untuk kepentingan umum dengan pembayaran ganti rugi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukan bahwa pemegang sertifikat diberikan perlindungan dan juga dihargai sebagai pihak yang mempunyai hak atas tanah.
            Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul, dijilid menjadi satu yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ada dua jenis sertifikat. Pertama, sertifikat yaitu tanda bukti hak yang diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada surat ukurnya ataupun tanah- tanah yang sudah diselenggarakan pengukuran desa demi desa, dan yang kedua, sertifikat sementara, yaitu tanda bukti hak yang diberikan bagi tanah- tanah yang belum ada surat ukurnya, artinya tanah-tanah di desa-desa yang belum dihitung berdasarkan pengukuran desa demi desa. Sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek hak atas tanahnya dan sertifikat sementara merupakan alat pembuktian sementara mengenai macam-macam hak dan siapa pemiliknya, tidak membuktikan mengenai luas dan batas-batas tanahnya.
            Pemberian tanda bukti hak diatur dalam suatu ketentuan tentang pendaftaran tanah yang dilaksanakan diseluruh Wilayah Republik Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pokok Agraria, yaitu :
1.      Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.      Pendaftaran tanah, meliputi kegiatan :
a.       Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;
b.      Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan-peralihan hak tersebut;
c.       Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dengan demikian, akibat hukum dari pendaftaran tanah adalah diberikannya surat tanda bukti hak, yaitu sertifikat tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yurudis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan.
Kepastian hukum hak atas tanah tersebut selaras dengan tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa :
1.      Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak- hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang tanah dan bantuan- bantuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3.      Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu bahwa dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, sedangkan pasal 19 UUPA hanya untuk kepastian hukum.
            Berdasarkan pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa diadakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas negative. Ini tercermin dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat. Berbeda dengan system positif, yang menghasilkan sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak sebagai satu-satunya alat pembuktian. Dengan demikian sertifikat tersebut hanya dipandang sebagai suatu bukti permulaan saja, belum menjadi sertifikat sebagai suatu yang final sebagai bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, sertifikat merupakan satu- satunya alat pembuktian.
            Parlindungan mengemukakan bahwa pasal 19 UUPA menyatakan bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat, sehingga setiap orang dapat mempermasalahkan tentang kebenaran sertifikat tanahnya, dan jika dapat dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah tersebut, maka sertifikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat memerintahkan hal tersebut.[3]
            Pasal 23, 32 dan 38 UUPA menyatakan bahwa pendaftaran tanah untuk hak-hak tersebut ditujukan kepada para pemegang hak agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka, dalam arti demi kepentingan hukum bagi mereka sendiri. Begitu pula pendaftaran atas setiap peralihan, penghapusan dan pembebanannya, serta pendaftaran yang pertama kali, pendaftaran karena konversi ataupun pembebasannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftarkan. Padahal pendaftaran tersebut merupakan bukti yang kuat bagi pemegang haknya.
            Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan system yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa system publikasinya adalah system negative yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf (c), pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA.
Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut ataupun data yuridisnya. Penerbitan sertifikat hak atas tanah digunakan untuk pegangan kepada pemiliknya akan bukti-bukti haknya yang tertulis, kecuali masih ada catatan pada buku tanah maka sertifikat tidak dapat diterbitkan.[4]
            Sertifikat tanah yang diberikan akan memberikan peran dan arti penting bagi pemegang hak yang bersangkutan, yang dapat berfungsi sebagai  alat bukti hak atas tanah apabila ada persengketaan terhadap tanah tersebut ataupun dapat pula berfungsi sebagai jaminan pelunasan suatu hutang kepada bank.

BAB III
POKOK PEMBAHASAN
            Sehubungan dengan apa yang dikemukakan dalam uraian diatas dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan mengenai arti dan persyaratan mengenai “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Dijelaskan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di Pengadilan.
            Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan dalam pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa :
“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”

            Dengan pernyataan tersebut makna dari sertifikat yang merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasinya bersifat negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang memperoleh tanah dengan itikad baik yang dilanjutkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan maupun pihak yang mempunyai dan menguasai serta menggunakannya sebagaimana mestinya.
            Dalam penjelasan pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
“Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Didalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif yang murni”

            Sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat maksudnya bahwa sertifikat tersebut akan memberikan jaminan kepastian hukum apabila tidak ada pihak lain yang merasa memiliki atas sertifikat tersebut. Menurut Soeprapto bahwa kepastian hukum tersebut harus meliputi :[5]
a.       Kepastian hukum mengenai subjek hukum yang menjadi pemegang hak-hak atas tanah;
b.      Kepastian hukum mengenai lokasi, batas serta luas bidang tanah hak (objek hak);
c.       Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut.

Memperhatikan pendapat tersebut bahwa ketersediaan peta merupakan salah satu alat penunjang untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah, disamping data yuridis lainnya sebagai penunjang yang sangat penting.
            Dalam pendaftaran tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan kepastian hak dibidang pertanahan, Pemerintah berdasarkan UUPA pasal 19 diwajibkan untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia dalam pasal 23, 24 dan 48 UUPA selain pemerintah juga pemegang hak atas tanah tersebut, dimana kepastian hukum tersebut meliputi tiga hal yaitu :
1.        Kepastian mengenai subjek hak yaitu kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah, jika pendaftaran tanah sudah dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib, maka melalui daftar tanah/buku tanah dapat dengan mudah diketahui siapa pemegang hak atas suatu bidang tanah tertentu. Hal ini akan memberikan kepastian hukum, pertama-tama bagi pemegang hak itu sendiri, bagi pihak lain yang mempunyai kepentingan atas tanah tersebut misalnya pihak yang akan membeli tanah yang bersangkutan atau pihak  yang akan meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan, pihak tersebut memperoleh jaminan kepastian hukum bahwa dia akan membeli tanah atau akan memperoleh hak atas tanah sebagai jaminan pinjaman yang akan diberikan, dari orang yang betul-betul mempunyai hak dan mempunyai kewenangan untuk menjual atau menjaminkan tanah yang bersangkutan;
2.        Kepastian hukum mengenai objek hak yaitu kepastian mengenai tanahnya itu sendiri yang meliputi letak tanah secara pasti, batas-batasnya yang jelas, dan luas bidang tanah, jaminan kepastian hukum mengenai objek ini sama pentingnya dengan jaminan kepastian hukum mengenai subjek;
3.        Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum antara subjek hukum dengan objek hukum. Jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang melekat ini penting karena tidak semua hak atas tanah dapat dimiliki oleh subjek hukum tertentu atau tidak boleh dipindah tangankan atau tidak boleh dibebani dengan hak tanggungan.
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah yang baik dan benar serta teliti dapat memberikan jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah apabila dipenuhi tiga syarat yaitu :
a.       Peta-peta pemilikan tanahnya/peta kadaster dapat dipakai untuk rekonstruksi;
b.      Daftar umum yaitu; daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur serta buku tanah dapat membuktikan pemegang hak yang sah menurut hukum;
c.       Setiap hak atas tanah dan perbuatan hukumnya harus didaftar. 

BAB  IV
ANALISIS
A. Kekuatan Hukum Sertifikat Hak atas Tanah
            Daftar-daftar umum yang diselenggarakan dalam rangka pendaftaran tanah dalam suatu Negara menetapkan apakah penerbitan sertifikat dapat memberikan kekuatan bukti atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari system pendaftaran tanah yang dianutnya. Ada dua system pendaftaran tanah, yaitu:
1.        System Pendaftaran tanah Positif
System positif jika daftar-daftar umum mempunyai kekuatan bukti, sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum sebagai pemegang hak membuktikan orang tersebut adalah pemegang hak yang sah menurut hukum. System positif ini dianut antara lain di Jerman dan Australia.
2.        Sistem Pendaftaran Tanah Negatif
Sistem Negatif tidak memberikan kekuatan bukti pada daftar-daftar umum pendaftaran tanah, artinya terdaftarnya seseorang tidak membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. System negatif ini antara lain dianut di Indonesia.
            Sistem pendaftaran tanah negatif ini terbentuk karena pengaruh asas hukum yang dianut di dalam peralihan hak atas tanah yaitu Asas Nemo Plus Juris, artinya orang tidak dapat mengalihkan hak yang melebihi hak yang ada padanya, yang tujuannya adalah melindungi pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan orang lain yang mengalihkan hak tanpa sepengetahuannya. Dengan berlakunya asas peralihan hak ini, maka tidak memberikan kekuatan hukum pada daftar-daftar umum penyelenggaran pendaftaran tanah.
            Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah, maka dapat dilihat dari sifat pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Indonesia yaitu bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum adalah untuk menghindari terjadinya penerbitan sertifikat tanah bukan kepada orang yang berhak. Sehubungan dengan sifat pendaftaran tanah tersebut, maka UUPA dalam pelaksanaan pendaftaran tanah menganut system negatif, yaitu segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah benar sampai dapat dibuktikan keadaan sebaliknya di muka pengadilan.
            Undang-undang Pokok Agraria menegaskan system negatif ini bertendensi positif sebagaimana tercantum dalam pasal 19 ayat (2) huruf c bahwa surat- surat tanda bukti hak yang diberikan itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dalam system negatif adalah berarti tidak mutlak, sehingga sertifikat tanah masih mungkin dibatalkan sepanjang ada pembuktian sebaliknya yang menyatakan ketidaksahan sertifikat tanah tersebut. Dengan demikian sertifikat tanah bukanlah satu-satunya surat bukti pemegang hak atas tanah, oleh karena masih dimungkinkan ada lagi bukti- bukti lain tentang pemegang hak atas tanah tersebut.
            Pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 sebagaimana yang telah diperintahkan Undang-undang Pokok Agraria menggunakan system negatif bertendensi positif. Hal ini merupakan pernyataan pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam pasal 23, 32 dan 38 UUPA bahwa pendaftaran tanah sebagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Walaupun bersifat negatif akan tetapi penyajian dan pengumpulan data fisik serta data yuridis serta penerbitan serifikat hak atas tanah tampak jelas usaha untuk memperoleh dan menyajikan data yang benar karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.
            Sehubungan dengan maksud tersebut, maka diadakanlah ketentuan pasal 32 ayat (2) Peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”

            Tujuan dari pencantuman pasal ini, pada satu pihak tetap berpegang pada system pendaftaran tanah negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberikan  kepastian hukum kepada pihak yang beritikad baik menguasai bidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku Tanah dengan sertifikat sebagai tanda buktinya yang menurut Undang- undang Pokok Agraria berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
            Berlakunya system pendaftaran tanah yang negatif, memiliki kelemahan karena pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut.

B. Upaya - upaya yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum
      Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab dalam mengelola pertanahan salah satunya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus benar-benar menyelenggarakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya sehingga dapat memberikan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Untuk mencapai hal tersebut telah berupaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1.        Pengukuran dan pemetaan seluruh bidang-bidang tanah.  
Bahwa dalam rangka kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah sudah barang tentu dibutuhkan infrastruktur berupa peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran yang memuat informasi batas-batas bidang tanah yang merupakan hasil pemetaan dan pengukuran. Bahwa dalam rangka mempercepat pengukuran dan pemetaan Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan untuk menyerahkan pekerjaan ini kepada pihak swasta dengan supervisi dari Badan Pertanahan Nasional yaitu dengan adanya surveyor berlisensi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998, hal ini dimaksudkan untuk dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di masyarakat dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya pengukuran dan pemetaan dalam memasuki suatu revolusi teknologi. Badan Pertanahan Nasional telah memanfaatkan teknologi di bidang pengukuran dan pemetaan seperti teknologi Citra satelit, Ikonos, pemotretan udara dan Global Positioning System (GPS). Dengan menggunakan teknologi GPS ini kinerja pengukuran akan lebih efisien dengan fleksibilitas tinggi, karena teknologi ini tidak terpengaruh oleh waktu dan cuaca.
Penyelenggaraan sistem informasi Kantor Pertanahan Nasional dalam rangka Peningkatan Efisiensi Pelayanan Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998. Data Kantor Pertanahan yang telah menggunakan program-program komputerisasi sampai dengan tahun 2001 telah dilaksanakan sistem komputerisasi di 74 Kantor Pertanahan (termasuk Badan Pertanahan Nasional) di seluruh Indonesia, pengadaan komputerisasi dilaksanakan secara bertahap hal ini disesuaikan dengan ketersediaan dana, dengan menggunakan sistem komputerisasi maka pelayanan pertanahan akan memberikan kemudahan kepada pihak-pihak yang membutuhkan data pertanahan.
Selain hal tersebut dalam rangka untuk memberikan  jaminan kepastian hukum Badan Pertanahan Nasional telah mengadakan kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak. Perjanjian kerjasama dalam rangka peningkatan kegiatan administrasi pertanahan dan perpajakan melalui tukar-menukar data dan pemanfaatan bersama yang meliputi baik data spasial dan data tekstual yang dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama Kep-126/PJ/2003 dan Nomor 2/SKB/Badan Pertanahan Nasional/2003 tanggal 21 April 2003, adapun data yang dimaksud adalah berupa :
1)      Data Perpajakan berupa :
a.       Peta desa/kelurahan;
b.      Peta blok;
c.       Peta Zona nilai tambah;
d.      Daftar hasil rekaman;
e.       Data spasial maupun tekstual lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan administrasi pertanahan.
2)      Data Pertanahan yang dimaksud berupa :
a.       Peta dasar pertanahan;
b.      Peta pendaftaran;
c.       Daftar tanah;
d.      Daftar mutasi pemilikan dan pembebanan tanah;
e.       Peta tata guna;
f.       Titik dasar teknik;
g.      Daftar harga ganti rugi tanah dan harga dasar tanah;
h.      Daftar hak;
i.        Data lainnya yang diperlukan.
2.        Penilaian alat bukti untuk pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali, baik untuk hak-hak lama maupun untuk hak-hak baru perlu diadakan penelitian secara cermat dan teliti karena ketidak cermatan dalam menilai alat bukti sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat akan mengakibatkan sertifikat yang diterbitkan cacat hukum, adanya pengumuman yang bersifat terbuka sebelum diterbitkan sertifikat merupakan hal yang sangat penting dan harus benar-benar dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui adanya pensertifikatan sehingga apabila ada yang merasa keberatan dapat diantisipasi sedini mungkin sebelum terjadi sengketa.
3.        Pemeliharaan dan pendaftaran tanah harus betul-betul diperhatikan, agar setiap adanya perubahan dapat dilayani dengan cepat, sehingga pemegang hak yang berkepentingan yang akan mengadakan perubahan baik itu data fisik maupun data yuridis akan merasakan arti pentingnya kepastian hukum.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan secara baik menjadi dasar dan perwujudan dari tertib administrasi di bidang pertanahan, administrasi pertanahan yang dikelola secara tertib adalah merupakan harapan dari diadakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan adanya administrasi pertanahan yang tertib dan mutahir, maka baik anggota masyarakat maupun Pemerintah dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan untuk melakukan perbuatan hukum ataupun perencanaan atas bidang-bidang tanah secara cepat dan tepat.
Bahwa salah satu sumber bagi pemutahiran data pendaftaran tanah adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena demi pemutahiran data pendaftaran tanah yang ada pada Kantor Pertanahan. Dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mewajibkan setiap pemegang dari hak yang terdaftar untuk mendaftarkan setiap pengubahan data fisik dari bidang tanahnya (misalnya karena pemecahan, pemisahan, ataupun penggabungan) maupun pengubahan data yuridis dari hak atas tanahnya (misalnya karena diadakan pemindahan ataupun pembebanan hak).
Dengan demikian peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk mempunyai kemampuan teknis yang tinggi untuk dapat menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya karena ketetapan, kepastian dan kebenaran informasi yang tertuang dalam akta yang dibuat sangat menentukan, karena akta PPAT merupakan perantara bagi proses pendaftaran pemindahan hak dan pemberian kepastian dan perlindungan terhadap hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat.

BAB V
KESIMPULAN
Dari apa yang telah dibahas pada Bab-bab tersebut diatas, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.        Berdasarkan pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa diadakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas negative. Ini tercermin dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat. Berbeda dengan system positif, yang menghasilkan sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak sebagai satu- satunya alat pembuktian. Dengan demikian sertifikat tersebut hanya dipandang sebagai suatu bukti permulaan saja, belum menjadi sertifikat sebagai suatu yang final sebagai bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, maka sertifikat merupakan satu-satunya alat pembuktian;
2.        Sertifikat sebagai tanda bukti hak kepemilikan hak-hak atas tanah dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang kuat apabila tidak ada pihak-pihak yang mengajukan gugatan terhadap hak-hak tersebut, kecuali bilamana dibuktikan sebaliknya siapa yang berhak terhadap kepemilikan hak atas tanah tersebut. Apabila hak tersebut oleh pemilik yang digugat dapat mempertahankan haknya dan setelah diuji didepan pengadilan baik mengenai prosedur pembuatannya maupun materi kepemilikannya bahwa benar pemegang hak yang namanya tercantum didalam sertifikat adalah yang benar-benar pemilik, maka sertifikat tersebut betul-betul mempunyai kepastian hukum sebagai alat bukti yang kuat;
3.    Upaya yang dilakukan agar pendaftaran tanah mempunyai kepastian hukum agar ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah dengan adanya pembatasan kepada seseorang untuk mengajukan gugatan terhadap kepemilikan hak atas tanah yang sudah bersertifikat dapat dilaksanakan secara konsekuen baik oleh BPN ataupun Pengadilan.
 
 DAFTAR PUSTAKA
A.     Buku-buku :
Boedi Harsono , Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pemmbentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan pelaksanaannya, Djembatan, Jakarta, 1977;

_____________,     Himpunan Peraturan Perundangan Agraria, Edisi Revisi, Djembatan, Jakarta, 2002.

Parlindungan A.P,Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1991.        

______________,Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998.

_____________,     Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung 1999.
B.      Majalah :
Badan Pertanahan Nasional, Bhumi Bakti, No. 19 Tahun 1999.
C.     Peraturan Perundang-undangan        
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

Peraturan P:emerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Badan Pertanahan Nasional.



________________________________________
[1] Parlindungan, Komentar atas Undang- Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993, Hlm.238.
[2] ibid., Hlm.41.
[3] Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, Hlm. 14.
[4] Ibid., Hlm.125
[5] R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam praktek, Jakarta, 1986, hlm 323.
Diposkan oleh WD Permana, S.H di 11.01 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar